
‘Ibaadur Rahman (4)
‘Ibaadur Rahman (4)
Tauhid, Risalah Inti Para Nabi
Allah SWT
menurunkan para Nabi ke dunia ini dengan tugas yang berbeda-beda sesuai dengan
karakter serta permasalahan yang umum terjadi pada kaumnya di masa tersebut.
Namun ada satu tugas yang pokok yang wajib disampaikan oleh semua para Nabi
kepada ummatnya, yaitu mengajak manusia menyembah Allah SWT semata dan
menafikan sesembahan selain-Nya atau yang umum dikenal dengan mentauhidkan
Allah SWT. Perintah ini Allah SWT abadikan dalam al quran surat an Nahl ayat 36.
Allah SWT berfirman :
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ
وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut”.
Allah SWT mempertegas kembali
risalah kenabian ini dalam surat al Anbiya’ ayat 25. Allah SWT berfirman :
وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ
لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang
rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya : Bahwasanya tidak ada
Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku”.
Ajaran
tauhid inilah yang kemudian menjadi pegangan hidup seorang ‘Ibaadur Rahman. Allah
SWT sebagai satu-satunya ilah yang berhak disebah terpatri kuat di dadanya.
Allah SWT lah yang berhak disembah, dan hanya padaNya lah seluruh ibadah
ditujukan.
وَٱلَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ وَلَا
يَقْتُلُونَ ٱلنَّفْسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ
ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
“Dan orang-orang yang tidak
menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina,
barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan)
dosa(nya)”. (QS.
al Furqan : 68)
’Ibaadur Rahman senantiasa menyembah Allah SWT dengan segenap keihklasan
dan menolak segala jenis peribadatan yang ditujukan kepada selain Allah SWT. Setiap
perbuatan syirik memiliki konsekuensi yang sangat berat dan bahkan Allah SWT
tidak aka pernah mengampuni dosa syirik jika pelakunya tidak bertaubat serta dapat
megeluarkan pelakunya dari agama Islam.
Allah SWT berfirman :
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. an Nisa: 48)
As
Sa’di dalam tafsirnya mengatakan bahwa Allah SWT dengan rahmat dan kasih
sayangNya mengampuni pelaku maksiat dengan banyaknya amalan-amalan yang mampu
menggugurkan dosa-dosa tersebut. Akan tetapi Allah SWT tidak akan pernah
mengampuni dosa pelaku syirik jika mati dalam kesyirikan dan tidak bertaubat.
Dan pada akhrinya orang-orang yang menyekutukan Allah SWT akan dilempar ke
dalam api neraka atas dosa besar yang telah mereka lakukan.
Tidak Membunuh &
Menjauhi Zina
Dua sifat berikutnya yang
melekat pada ‘Ibaadur Rahman adalah tidak membunuh atau menghilangkan
nyawa manusia kecuali dengan jalan yang dibenarkan oleh syari’at seperti
menegakkan hukum qishas dan rajam bagi pelaku zina. Namun tentunya hukum qishas
serta rajam baru bisa ditegakkan jika hukum Islam sepenuhnya diterapkan.
Seseorang yang membunuh dengan sengaja maka Allah SWT menjanjikan neraka
baginya sebagaimana firman Allah SWT dalam surat an Nisa ayat 93 :
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا
فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ خَٰلِدًا فِيهَا وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُۥ
وَأَعَدَّ لَهُۥ عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin
dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah
murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”.
Ayat
tersebut sudah cukup untuk menggetarkan hati seorang mukmin untuk menjauhkan
diri dari menghilangkan nyawa orang lain tanpa sebab yang dibenarkan syari’at.
Azab yang pedih, laknat serta kekal dalam neraka jahannam adalah harga yang
harus dibayar jika berani melakukan pembunuhan.
Sifat
terakhir yang Allah SWT sematkan pada ‘Ibaadur Rahman dalam surat al
Furqan ayat 68 adalah mereka tidak berbuat zina karena zina merupakan dosa yang
sangat besar di sisi Allah SWT. Allah SWT menghukum pelaku zina dengan hukuman
yang sangat berat karena dampak yang ditimbulkan oleh zina itu sendiri begitu
merusak. Bukan hanya moral pribadi yang dirusak oleh perbuatan zina, namun
tatanan sosial ikut berdampak akibat perbuatan keji ini.
Bagi
seorang muslim yang senantiasa ingat bahwa akan ada hari dimana seluruh amal
perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT maka ia akan sangat
berhati-hati dalam bertindak. Jangankan untuk berbuat zina, mendekatinya saja
adalah sebuah kehinaan. Allah SWT
berfirman :
وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ
سَبِيلًا
“Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al
Isra’:32)
Para
ulama tafsir mengatakan bahwa ayat mengandung perintah untuk menjauhi segala
hal yang mampu menjuruskan seseorang
pada perbuatan zina termasuk memandang lawan jenis dengan syahwat, berbicara
dengan lawan jenis tanpa ada keperluan mendesak serta bersentuhan.
‘Ibaadur Rahman melihat
sebuah dosa bukan dari besar atau kecilnya kadar dosa tersebut namun kepada
siapa ia berbuat dosa. Dan seorang muslim juga melihat dosa baik kecil maupun
besarnya layaknya ia duduk di dasar gunung dan ia takut gunung tersebut
menimpanya. Sedangkan orang fasik malihat dosa layaknya lalat yang hinggap di
ujung hidungnya yang dengan mudahnya ia usir dengan jari tangannya. Sebagaimana
sabda Rasulullah Saw :
إِنَّ المُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ
كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الفَاجِرَ
يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ
“Sesungguhnya
orang yang beriman melihat dosa-dosanya seperti ketika duduk di bawah gunung,
dia takut kalau gunung tersebut jatuh menimpanya. Adapun orang yang fajir
melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat (terbang) di depan
hidungnya.” (HR. Bukhari no. 6308).
Komentar